Metapos.id, Jakarta — Rencana pemerintah menerapkan Kelas Rawat Inap Standard (KRIS) sebagai pengganti sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan masih mengalami penundaan. Sejumlah kendala mulai dari kesiapan rumah sakit, kebutuhan renovasi, hingga potensi perubahan tarif iuran membuat kebijakan ini belum dapat diterapkan secara penuh.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa perbedaan kelas layanan sudah tidak relevan. Menurutnya, KRIS diharapkan mampu menyamakan standar layanan rawat inap agar seluruh peserta JKN memperoleh pelayanan minimal yang setara.
Kendala Kesiapan Rumah Sakit
Sekjen Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Noor Arida Sofiana, menyampaikan bahwa penerapan KRIS yang semula dijadwalkan 1 Juli 2025 diundur hingga 31 Desember 2025. Rumah sakit disebut masih menunggu regulasi dan petunjuk teknis dari Kemenkes.
Ia menjelaskan, banyak rumah sakit membutuhkan investasi besar untuk renovasi ruang rawat inap agar sesuai standar KRIS. Tidak semua rumah sakit memiliki lahan atau modal tambahan untuk memenuhi standar tersebut.
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago, menilai hambatan terbesar adalah keterbatasan fisik dan anggaran rumah sakit. Jika pemaksaan standar tetap dilakukan, ia menilai akan ada konsekuensi berupa kenaikan tarif iuran BPJS akibat peningkatan fasilitas layanan.
Kritik dari BPJS Watch
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai penyatuan kelas membutuhkan persiapan besar, terutama dari sisi infrastruktur rumah sakit. Renovasi ruang rawat inap dinilai memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Ia juga mengingatkan potensi penurunan kepuasan peserta BPJS, terutama peserta pekerja penerima upah (PPU) yang selama ini memilih kelas 1 demi kenyamanan non-medis. Jika semua kelas disatukan, peserta yang membayar lebih tinggi tidak lagi memperoleh layanan berbeda.
Timboel menilai hal ini dapat mendorong peserta kelas atas memilih turun kelas karena manfaat non-medisnya hilang, yang pada akhirnya berisiko terhadap keberlanjutan program JKN.
Menurutnya, yang lebih mendesak untuk diperbaiki adalah mutu layanan medis, seperti ketersediaan obat, alat kesehatan, dan kepastian pasien hanya dipulangkan ketika sudah layak.
Tujuan Kebijakan Dinilai Belum Jelas
Pengamat kebijakan publik UGM, Wahyudi Kumorotomo, mempertanyakan kejelasan tujuan penghapusan kelas. Ia berpendapat bahwa efisiensi layanan kesehatan seharusnya dilakukan melalui perbaikan manajemen rumah sakit dan tata kelola BPJS, bukan dengan menyeragamkan ruang rawat inap.
Ia menilai bahwa sistem rujukan berjenjang yang sudah berjalan dapat mengendalikan biaya tanpa perlu menghapus kelas layanan. Evaluasi dan penyempurnaan manajemen kesehatan disebut lebih efektif dalam menjamin hak warga atas pelayanan kesehatan.













