Metapos.id, Jakarta – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan agenda pembacaan eksepsi digelar hari ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Jakarta Pusat. Perkara ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy, yaitu Newin Nugroho (Direktur Utama), Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan), dan Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy).
Dalam persidangan, kuasa hukum Jimmy Masrin, Dr. Soesilo Aribowo, S.H., M.H., menegaskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak memiliki kewenangan mengadili perkara ini. Ia merujuk pada ketentuan Undang-Undang LPEI dan Undang-Undang Tipikor, yang menurutnya menempatkan kasus tersebut sebagai ranah perdata atau pidana umum, dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang lebih tepat menangani.
“Berdasarkan Pasal 43 ayat 2 UU LPEI No. 2 Tahun 2009 dan Pasal 14 UU Tipikor, kasus yang melibatkan otoritas dalam LPEI tidak tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadilinya,” ujar Soesilo.
Ia juga menyoroti bahwa KPK hanya menelusuri perkara hingga tahun 2019. Padahal, pada tahun yang sama, PT Petro Energy menjalani proses PKPU dan dinyatakan pailit setelah LPEI—sebagai kreditur terbesar dengan porsi 71 persen—menolak restrukturisasi utang. Setelah putusan pailit, seluruh tanggung jawab pembayaran utang diambil alih oleh Jimmy Masrin, yang hingga kini masih membayar cicilan dengan baik.
“Sejak awal, KPK tidak melihat perkara ini secara menyeluruh. Tidak ada bukti bahwa terdakwa Jimmy Masrin mengetahui penggunaan invoice palsu seperti dalam dakwaan. Bahkan tuduhan suap yang sempat berkembang di opini publik tidak tercantum dalam dakwaan,” jelasnya.
Menurut kuasa hukum, batas waktu pelunasan utang baru jatuh pada 2028, sehingga kerugian negara belum terjadi. Ia juga mengkritisi perhitungan kerugian negara dalam dakwaan yang disamakan dengan total kredit awal, tanpa memperhitungkan cicilan yang telah dibayar sejak 2016.
Selain itu, eksepsi juga menyinggung prinsip equal treatment. Soesilo menyatakan bahwa UU Tipikor ditujukan untuk menjerat aparatur sipil atau penyelenggara negara yang melakukan korupsi, sementara pihak internal LPEI yang berperan dalam pembiayaan hingga kini belum diproses hukum.
Ia juga mempertanyakan penahanan Jimmy Masrin pada 20 Maret 2025, yang dilakukan sebelum hasil audit kerugian negara keluar pada 7 Juli 2025. Menurutnya, penahanan sebelum pembuktian bertentangan dengan prinsip hukum, dan jika setiap masalah kredit pemerintah dibawa ke Tipikor, hal itu berpotensi meresahkan investor serta merusak iklim investasi di Indonesia.
“Melihat fakta-fakta tersebut, kami menilai Pengadilan Tipikor tidak memiliki kewenangan mengadili perkara ini, dan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima sehingga pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan,” tutup Soesilo.