Metapos.id, Jakarta – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat Kelas IA Khusus hari ini menggelar sidang putusan sela perkara dugaan korupsi fasilitas pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Perkara ini menyeret tiga petinggi PT Petro Energy, yakni Direktur Utama Newin Nugroho, Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta, serta Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy, Jimmy Masrin.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menolak seluruh eksepsi yang diajukan penasihat hukum Terdakwa II dan III. Hakim menilai dalil keberatan tersebut sudah masuk ranah pembuktian sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk menggugurkan dakwaan.
“Nota keberatan dari penasihat hukum tidak dapat diterima dan harus dikesampingkan,” tegas majelis hakim. Dengan demikian, persidangan akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara, termasuk menghadirkan saksi dan ahli, hingga nanti pada putusan akhir.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya mendakwa PT Petro Energy menyalahgunakan fasilitas kredit dengan dokumen fiktif, yang diduga menimbulkan kerugian negara sebesar 22 juta dolar AS dan Rp600 miliar. Namun, tim kuasa hukum menilai dakwaan tersebut lebih berupa asumsi dan penilaian sepihak yang seharusnya dibuktikan terlebih dahulu di persidangan.
Kuasa hukum Susy Mira Dewi, Sandra Nangoy, S.H., M.H., menyatakan keberatan atas pertimbangan hakim, meski tetap menghormati proses hukum. “Inti persoalan ada pada klaim kerugian negara. Faktanya, utang PT Petro Energy sudah dibayar lebih dari 60% dan sisanya masih berjalan lancar. Jadi tidak bisa serta-merta disebut kerugian negara,” ujarnya.
Sandra juga menegaskan bahwa permasalahan ini pada dasarnya adalah hubungan perdata utang-piutang. “Perusahaan sempat pailit, tapi kewajiban sudah diambil alih oleh Jimmy Masrin dan tetap dijalankan. Itu yang akan kami buktikan,” tambahnya.
Sementara itu, kuasa hukum Jimmy Masrin, Dr. Soesilo Aribowo, S.H., M.H., menilai putusan sela tidak mempertimbangkan keberatan yang telah diajukan. “Kami kecewa karena jelas perkara ini seharusnya masuk ranah perdata. Hutang masih berjalan normal, terikat perjanjian, jadi mestinya diselesaikan lewat mekanisme perdata, bukan pidana,” tegasnya.
Soesilo juga menyinggung aspek kewenangan pengawasan. “Seharusnya yurisdiksi ada pada OJK karena terkait jasa keuangan. Kami bahkan meminta akses melihat langsung Laporan Hasil Audit (LHA) di luar persidangan agar jelas apa yang ditemukan,” jelasnya.
Ia menambahkan, proses pembuktian di tahap selanjutnya akan sangat menentukan. “Ada sekitar 50 saksi, termasuk saksi ahli, yang akan dihadirkan. Semoga prosesnya bisa berlangsung cepat,” tutup Soesilo.