Metapos.id, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional. Regulasi ini diundangkan pada 10 Oktober 2025 dan sekaligus mencabut Perpres Nomor 98 Tahun 2021, yang sebelumnya menempatkan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Komite Pengarah Pengendalian Emisi Nasional.
Dalam struktur baru, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) didapuk sebagai Ketua Komite Pengarah NEK dan Pengendalian Emisi Nasional. Ia kini memimpin arah kebijakan nasional terkait pengendalian emisi dan penyelenggaraan NEK lintas kementerian.
Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ditunjuk sebagai Wakil Ketua I dan II.
Langkah ini menandai berakhirnya dominasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) dalam urusan kebijakan iklim. Sebelumnya, koordinasi NEK dan pengendalian emisi berada di bawah kendali langsung Luhut Binsar Pandjaitan, yang dikenal berpengaruh besar dalam proyek transisi energi dan hilirisasi mineral.
Perpres 110/2025 memperluas mandat Komite Pengarah menjadi lebih terintegrasi dengan kementerian ekonomi, pangan, dan energi. Tugas utama komite mencakup:
Menetapkan arah kebijakan dan strategi pengendalian emisi GRK;
Mengawasi penyelenggaraan perdagangan karbon dan Nilai Ekonomi Karbon;
Meningkatkan koordinasi lintas sektor, terutama industri, kehutanan, energi, dan transportasi.
“Perubahan struktur ini agar kebijakan NEK tidak berjalan parsial, tapi terintegrasi dengan kebutuhan ekonomi nasional,” ujar Zulkifli Hasan, dikutip dari keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Rabu (16/10).
Para pengamat lingkungan menilai pergeseran kendali ini menunjukkan arah baru pemerintahan Prabowo yang lebih pragmatis, yaitu mengaitkan isu iklim dengan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan.
Namun, sebagian pihak mengingatkan agar komitmen penurunan emisi dan prinsip transparansi tetap dijaga, terutama dalam implementasi pasar karbon domestik.
Dari sisi ekonomi, pasar menilai perubahan ini sebagai sinyal percepatan regulasi karbon. Bursa karbon yang dikelola Bursa Efek Indonesia (BEI) diproyeksikan tumbuh pesat, seiring target pemerintah mendorong nilai transaksi mencapai Rp20 triliun hingga akhir 2025.
Arah Baru Kebijakan Iklim
Dengan restrukturisasi ini, titik berat kebijakan iklim Indonesia bergeser dari koordinasi maritim menuju koordinasi ekonomi dan pangan.
Era dominasi Luhut dalam kebijakan iklim pun resmi berakhir. Kini, panggung transisi hijau nasional berada di tangan Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, dan AHY — tiga figur politik yang memegang kunci arah kebijakan iklim dan ekonomi hijau Indonesia ke depan.













