Metapos.id, Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan sejak Januari 2025 memiliki tujuan utama untuk memperbaiki asupan gizi masyarakat sekaligus menekan angka stunting. Namun, dalam pelaksanaannya, program ini menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait insiden keamanan pangan di beberapa daerah yang berdampak pada ribuan penerima manfaat.
Berbagai kalangan menilai program MBG perlu dievaluasi agar pelaksanaannya semakin aman dan efektif. Sejumlah pakar kesehatan serta lembaga swadaya masyarakat turut memberikan masukan untuk memastikan tujuan mulia program ini tercapai.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), M.Trop Paed, menegaskan bahwa program MBG tetap harus dijalankan karena memiliki dampak positif besar terhadap kesehatan masyarakat. “Program ini bagus dan tujuannya baik, jadi tidak seharusnya dihentikan. Hanya saja, pelaksanaannya harus bertahap, tepat sasaran, dan dilakukan dengan hati-hati. Jika terjadi insiden keamanan pangan, itu harus jadi bahan evaluasi,” jelasnya.
Prof. Hinky mengungkapkan bahwa inisiatif serupa sebenarnya sudah pernah ada sejak 1981 melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang dijalankan lewat Puskesmas. Berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun di bidang kesehatan anak, ia menekankan pentingnya pelaksanaan program secara profesional dengan memperhatikan aspek keamanan pangan.
“Program sebesar ini harus dijalankan secara profesional. Prinsip food safety (keamanan pangan) adalah hal utama. Semua elemen masyarakat pada dasarnya siap membantu jika pelaksanaannya transparan dan terarah,” tambahnya.
Hasil survei Indonesian Social Survey (ISS) pada Agustus lalu juga menunjukkan dukungan publik terhadap program ini. Dari 2.200 responden di seluruh Indonesia, 77 persen menyatakan bahwa program MBG memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Direktur Penelitian ISS, Kadek Dwita, menyarankan agar pelaksanaan MBG dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Ia juga menekankan perlunya peningkatan kualitas pelaksanaan agar program ini selaras dengan kebijakan ekonomi yang memperkuat kesejahteraan keluarga.
Tidak hanya berfokus di wilayah perkotaan, program MBG turut menjangkau daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Di Papua Tengah, misalnya, program ini tidak hanya menyasar siswa sekolah, tetapi juga ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Tokoh masyarakat Papua, Nikolas Demetouw, menjelaskan bahwa pelaksanaan MBG di wilayahnya dilakukan secara bertahap. Hingga Agustus 2025, sudah ada 101 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi di Papua.
Para ahli menilai, agar MBG benar-benar menjadi investasi jangka panjang bagi generasi masa depan, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor dalam hal komunikasi, evaluasi, dan monitoring.
“Kalau kesejahteraan masyarakat meningkat, berarti indikator keberhasilan MBG tercapai. Tapi ini proses yang tidak bisa instan. Pemerintah harus terus berkoordinasi dengan daerah, ahli, dan masyarakat agar pelaksanaannya transparan dan terarah. Ini pekerjaan besar, tapi sangat mulia,” tutup Prof. Hinky.