Metapos.id, Jakarta – Aksi konten kreator Adimas Firdaus, yang dikenal dengan nama Resbob, dalam sebuah siaran langsung menuai konsekuensi serius. Ucapannya yang dinilai menghina Suku Sunda dan suporter Persib Bandung kini berujung pada proses hukum.
Kelompok suporter Viking Persib Club secara resmi melaporkan Resbob ke Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Barat pada Kamis, 11 Desember 2025. Laporan tersebut terkait dugaan ujaran kebencian dan pelecehan bermuatan SARA.
Langkah hukum tetap ditempuh meskipun Resbob telah mengunggah video permintaan maaf di hari yang sama. Dalam videonya, ia mengaku ucapannya keluar dalam kondisi “tidak sadar” dan “di luar kendali”. Ia juga menyebut dibesarkan oleh ibu sambung yang berdarah Sunda.
Namun, pihak Viking menilai persoalan ini telah melampaui batas dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf di media sosial.
Dari Permintaan Maaf hingga Digeruduk Massa
Kasus ini bukan kali pertama Resbob terseret persoalan hukum. Sebelumnya, ia bersama kakaknya, Bigmo, sempat berurusan dengan mantan istri Pratama Arhan, Azizah Salsha, terkait dugaan pencemaran nama baik.
Keduanya lolos dari jerat hukum setelah menjalani mediasi dan menyampaikan permintaan maaf di Bareskrim Mabes Polri pada 19 September 2025.
Namun, dampak dari pernyataan terbarunya dinilai jauh lebih luas. Kediaman Resbob di Bandung dilaporkan sempat digeruduk massa yang menuntut pertanggungjawaban. Aksi ini mencerminkan eskalasi konflik dari dunia maya ke dunia nyata.
Bahkan, massa menyuarakan bahwa jika hukum formal tidak berjalan, maka “hukum rimba” yang akan berlaku.
Tak hanya itu, kampus tempat Resbob menempuh pendidikan juga disebut tengah mempertimbangkan sanksi disiplin, menambah daftar konsekuensi yang harus dihadapinya.
Tanggung Jawab Kreator di Era Digital
Kasus Resbob kembali memantik diskusi publik tentang batas kebebasan berekspresi dan tanggung jawab etis kreator konten di era digital.
Banyak pihak menilai popularitas dan gaya konten provokatif tidak boleh mengabaikan nilai toleransi, penghormatan budaya, serta keberagaman masyarakat Indonesia.
Proses hukum yang kini berjalan di Polda Jawa Barat menjadi sorotan publik. Masyarakat, khususnya warga Sunda dan kalangan suporter Persib, menantikan apakah kasus ini akan diselesaikan melalui permintaan maaf semata atau diproses hingga tuntas sebagai bentuk edukasi publik.
Sementara itu, Resbob harus menghadapi konsekuensi dari ucapannya sendiri mulai dari ancaman pidana hingga enam tahun penjara, tekanan sosial, hingga kemungkinan sanksi dari institusi pendidikan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap kata di ruang digital memiliki dampak nyata dan tanggung jawab hukum yang tidak bisa diabaikan.













