Metapos.id, Jakarta – Sikap Prabowo Soal Israel Dipuji Dunia, Tapi Bagaimana Tanggapan Publik Indonesia?
Metapos.id, Jakarta – Sikap Presiden Prabowo Subianto terkait isu Israel–Palestina belakangan menarik perhatian dunia. Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September, Prabowo menyatakan Indonesia siap mengakui Israel jika negara itu terlebih dahulu mengakui Palestina. Ia juga menegaskan pentingnya menjamin keselamatan dan keamanan Israel, sebuah pernyataan yang belum pernah diucapkan pemimpin Indonesia sebelumnya.
Langkah ini dianggap sebagai pendekatan yang lebih pragmatis terhadap konflik panjang antara Israel dan Palestina. “Belum pernah ada pemimpin Indonesia yang menyatakan kesediaan mengakui Israel dengan syarat pengakuan terhadap Palestina,” kata Made Supriatma, peneliti tamu di ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura.
Selain itu, Prabowo juga menawarkan pengiriman 20.000 pasukan perdamaian ke Gaza, menunjukkan ambisi Indonesia untuk tampil sebagai kekuatan global yang berpengaruh. Yohanes Sulaiman, dosen Hubungan Internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani, menilai langkah ini sebagai upaya Prabowo “menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang mampu memberikan solusi nyata.”
Dipuji di Luar Negeri
Langkah-langkah Prabowo menuai pujian dari sejumlah negara. Pada 13 Oktober, ia menjadi satu-satunya pemimpin Asia Tenggara yang hadir di Konferensi Perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir. Dalam forum itu, Presiden AS Donald Trump menyebut Prabowo sebagai “sosok luar biasa dari Indonesia.”
Analis di AS dan Israel menilai perubahan nada diplomatik Indonesia ini bisa menjadi langkah awal menuju normalisasi hubungan antara kedua negara. Kolumnis The Jerusalem Post, Lauren Dagan Amoss, menyebut “untuk pertama kalinya, hubungan diplomatik dengan negara Muslim terbesar di dunia terasa semakin mungkin.”
Kontroversi di Dalam Negeri
Meski disambut positif di luar negeri, sikap Prabowo memicu perdebatan di dalam negeri. Survei lembaga riset Median pada Juni 2025 menunjukkan 74,9 persen warga Indonesia menolak pengakuan terhadap Israel.
“Dukungan terhadap Palestina masih sangat kuat, terutama di kalangan kelompok Islam. Membuka hubungan dengan Israel berisiko politik besar,” ujar Made Supriatma.
Penolakan terhadap pihak yang dianggap pro-Israel juga kerap terjadi. NU, misalnya, pernah memecat anggotanya karena menghadiri pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog. Sementara Universitas Indonesia sempat meminta maaf setelah mengundang akademisi pro-Israel dalam sebuah acara kampus.
Bahkan, ketika muncul laporan media Israel yang menyebut Prabowo akan mengunjungi negara itu, Kementerian Luar Negeri segera membantah, menegaskan bahwa Indonesia tetap konsisten mendukung kemerdekaan Palestina.
Akar Sikap Indonesia
Sikap Indonesia terhadap Israel berakar dari pandangan Presiden Soekarno, yang menyamakan perjuangan Palestina dengan perjuangan Indonesia melawan penjajahan. Sejak saat itu, Indonesia menolak hubungan diplomatik dengan Israel dan aktif mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Presiden-presiden berikutnya mempertahankan pendekatan “dua jalur”: hubungan terbatas secara tertutup, namun tetap menolak pengakuan resmi terhadap Israel di ruang publik.
Presiden keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengusulkan pembukaan hubungan dengan Israel, namun menuai kritik keras. Setelah itu, tidak ada lagi pemimpin Indonesia yang mengulangi langkah serupa — hingga kini di bawah Prabowo.
Potensi Keuntungan
Meski menuai penolakan, sejumlah analis menilai ada potensi manfaat strategis jika Indonesia menjalin hubungan dengan Israel.
“Prabowo bisa memperoleh akses teknologi militer Israel, memperkuat kerja sama keamanan, dan meningkatkan hubungan dengan AS,” ujar Dedi Dinarto dari Global Counsel.
Selain itu, normalisasi hubungan dapat mempercepat proses keanggotaan Indonesia di OECD, organisasi negara-negara maju yang keputusannya harus disetujui Israel. Namun, Kemlu menegaskan tidak ada rencana membuka hubungan diplomatik, apalagi di tengah agresi Israel di Gaza.
Menjaga Keseimbangan Politik
Analis menilai Prabowo sejauh ini berhati-hati menjaga keseimbangan antara kepentingan geopolitik dan sentimen domestik. Salah satu faktornya adalah minimnya oposisi politik, bahkan partai besar seperti PDI-P tidak secara resmi menyebut diri sebagai oposisi.
Selain itu, banyak tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah bergabung di pemerintahan, meredam potensi penentangan besar. “Kekuatan politik Islam kini terserap ke dalam pemerintahan Prabowo,” ujar Made.
Namun, situasi bisa berubah jika gencatan senjata di Gaza gagal atau jika publik merasa Indonesia terlalu dekat dengan AS dan Israel. “Hal itu bisa memicu kemarahan masyarakat,” kata Teuku Rezasyah dari Universitas Padjadjaran.
Langkah Hati-Hati ke Depan
Para pengamat memperkirakan Prabowo akan melangkah dengan sangat hati-hati.
“Normalisasi bisa membawa keuntungan strategis, tapi risikonya besar di dalam negeri,” kata Dedi Dinarto.
Menurut para analis, kerja sama dengan Israel kemungkinan dilakukan secara terbatas dan tertutup, misalnya di bidang pertahanan, intelijen, atau ekonomi.
Namun, ada batas yang belum akan dilanggar Indonesia. “Mengizinkan atlet atau pejabat Israel datang ke Indonesia, apalagi mengibarkan bendera Israel, masih sangat sensitif,” tegas Teuku.
Ia menambahkan, “Normalisasi hubungan diplomatik mungkin akan terjadi, tapi tidak dalam waktu dekat — mengingat kuatnya sentimen anti-Israel di masyarakat.”












