Metapos.id, Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap bahwa banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera bagian utara dipicu oleh kemunculan Siklon Tropis Senyar. Fenomena tersebut ternyata telah terdeteksi sejak delapan hari sebelum bencana terjadi, dan peringatan dini sudah disampaikan kepada pemerintah daerah terkait.
“Kami sudah melihat potensi terbentuknya Siklon Tropis Senyar sekitar delapan hari sebelum kemunculannya. Kepala Balai Besar BMKG Wilayah I telah mengirimkan peringatan dini sejak itu, lalu diperbarui empat hari dan dua hari sebelum kejadian,” ujar Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani dalam rapat koordinasi di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).
Ia menegaskan pentingnya respons cepat dari kepala daerah untuk meningkatkan kewaspadaan serta memastikan informasi peringatan dapat diteruskan kepada masyarakat.
“Beberapa kepala daerah telah menindaklanjuti peringatan tersebut dan menyampaikan arahan kepada jajarannya,” imbuh Teuku.
BMKG menjelaskan bahwa siklon tropis biasanya membawa curah hujan ekstrem dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologis seperti banjir, banjir bandang, serta longsor. Karena itu, kepala daerah diminta lebih sigap dalam menyikapi setiap informasi yang disalurkan melalui jaringan balai-balai BMKG.
“Para kepala daerah harus mencermati setiap peringatan dari balai besar BMKG. Mereka bisa mengundang perwakilan BMKG untuk berdiskusi mengenai langkah antisipasi ke depan,” katanya.
Teuku menambahkan, Indonesia sebenarnya bukan wilayah yang sering dilintasi siklon. Namun adanya anomali cuaca dan perubahan kondisi atmosfer menyebabkan Siklon Senyar muncul di Selat Malaka dan memicu hujan lebat di Sumatera bagian utara.
“Anomali atmosfer dan hembusan udara dingin memicu terbentuknya Siklon Senyar di Selat Malaka,” jelasnya.
Meskipun hanya termasuk kategori 1, siklon ini menimbulkan dampak besar karena suhu permukaan laut di wilayah tersebut sedang hangat, meningkatkan pembentukan awan hujan dalam jumlah besar.
“Walaupun intensitasnya rendah, efeknya tetap signifikan karena kondisi atmosfer dan lautan sangat mendukung terbentuknya hujan ekstrem,” tutupnya.













