Metapos.id, Jakarta – Dampak pemanasan global kian nyata dirasakan di hutan hujan Amazon. Perubahan iklim mendorong kawasan hutan tropis terbesar di dunia ini memasuki rezim iklim hipertropis, sebuah kondisi ekstrem yang diperkirakan tidak pernah terjadi di Bumi selama sekitar 10 juta tahun terakhir.
Iklim hipertropis ditandai oleh kombinasi suhu tinggi dan kekeringan berkepanjangan. Kondisi ini dinilai berbahaya karena dapat memicu kematian massal pohon dan melemahkan peran Amazon sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di planet ini.
Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Nature menunjukkan bahwa kejadian kekeringan panas di Amazon semakin sering dan berlangsung lebih lama. Dalam skenario terburuk, para ilmuwan memperkirakan bahwa pada tahun 2100 wilayah Amazon dapat mengalami kekeringan panas hingga sekitar 150 hari dalam setahun, bahkan meluas ke periode yang selama ini dikenal sebagai musim hujan.
Penulis utama studi tersebut, Jeff Chambers, profesor geografi dari University of California, Berkeley, menyebut kondisi ini telah melampaui batas iklim hutan hujan tropis yang selama ini dikenal manusia. Menurutnya, iklim hipertropis terakhir kali terjadi pada periode Eosen hingga Miosen, ketika suhu rata-rata global jauh lebih panas dibandingkan kondisi saat ini.
Saat ini, musim kering di Amazon—yang biasanya berlangsung antara Juli hingga September—terus memanjang. Pada saat yang sama, jumlah hari dengan suhu ekstrem meningkat dari tahun ke tahun. Analisis data selama tiga dekade di wilayah utara Manaus, Brasil, menunjukkan bahwa saat kekeringan terjadi, pohon-pohon kesulitan memperoleh air dan berhenti menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer.
Untuk mengurangi kehilangan air, pohon menutup pori-pori daun yang berfungsi mengatur pertukaran gas. Namun, mekanisme bertahan ini juga menghambat penyerapan CO₂ yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Jika kondisi kekeringan berlangsung terlalu lama dan ekstrem, pohon berisiko mati akibat kekurangan karbon.
Studi tersebut juga menemukan bahwa ketika kelembapan tanah turun di bawah 33 persen, aliran cairan di dalam batang pohon terganggu oleh terbentuknya gelembung udara. Kondisi ini mirip dengan penyumbatan pembuluh darah pada manusia dan dapat menyebabkan kegagalan sistem pengangkutan air di dalam pohon.
Saat ini, tingkat kematian pohon di Amazon tercatat sedikit di atas 1 persen per tahun. Namun, angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi sekitar 1,55 persen pada akhir abad ini. Meski terlihat kecil secara persentase, peningkatan ini dapat berdampak besar jika terjadi di seluruh kawasan hutan Amazon.
Penelitian juga menunjukkan bahwa pohon yang tumbuh cepat lebih rentan terhadap kekeringan panas dibandingkan spesies yang tumbuh lambat. Ke depan, hutan Amazon diperkirakan akan semakin didominasi oleh pohon-pohon berpertumbuhan lambat, seperti ipê kuning dan shihuahuaco, selama mampu beradaptasi dengan tekanan iklim yang semakin berat.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa perubahan serupa juga berpotensi terjadi di hutan hujan lain di dunia, termasuk Afrika Barat dan Asia Tenggara. Pergeseran menuju iklim hipertropis dapat mengurangi kemampuan hutan hujan global dalam menyerap karbon, sehingga mempercepat laju pemanasan global.
Prediksi ini dibuat berdasarkan asumsi bahwa upaya pengurangan emisi gas rumah kaca berlangsung sangat terbatas. Chambers menegaskan bahwa masa depan Amazon sangat ditentukan oleh keputusan manusia saat ini. Jika emisi karbon terus meningkat tanpa kendali, pembentukan iklim hipertropis dapat terjadi jauh lebih cepat dari perkiraan.














