Metapos.id, Jakarta – Gugatan yang diajukan Federasi Industri Chrysotile Mineral Asbes (FICMA) terhadap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terus menuai perhatian luas. FICMA menggugat LPKSM dengan nilai Rp790 miliar, namun gugatan tersebut dinilai sejumlah pihak sebagai strategic lawsuit against public participation (SLAPP), atau gugatan strategis yang bertujuan membungkam partisipasi publik.
Dalam persidangan, hadir Haris Azhar, pendiri Lokataru sekaligus dosen di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, yang memberikan keterangan ahli mengenai SLAPP. Ia menjelaskan, praktik ini bertujuan melemahkan posisi publik melalui tekanan hukum, biaya, hingga serangan personal. “SLAPP adalah serangan terhadap partisipasi warga. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah menyoroti praktik ini sebagai masalah serius di berbagai negara,” tegas Haris.
Gugatan FICMA sendiri dilayangkan sejak April 2024 terhadap beberapa pihak, termasuk LPKSM Yasa Nata Budi, usai Mahkamah Agung (MA) memenangkan lembaga tersebut dalam perkara pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 terkait kewajiban label berbahasa Indonesia pada produk asbes. FICMA menilai keputusan MA berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp7,9 triliun.
Namun, pandangan berbeda datang dari lembaga riset dan akademisi internasional. Collegium Ramazzini, lembaga riset independen asal Italia, menegaskan bahwa semua bentuk asbes adalah karsinogen yang menyebabkan berbagai kanker ganas seperti mesotelioma, kanker paru-paru, hingga kanker ovarium. “Tidak ada paparan asbes yang aman,” kata Presiden Collegium Ramazzini, Melissa McDiarmid.
Senada, Prof. Mathew J Pieters dari Macquarie University, Australia, menegaskan bahwa klaim yang meragukan bahaya asbes adalah tindakan yang bertentangan dengan bukti ilmiah. Sementara itu, Union Aid Abroad – APHEDA mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa komitmen dalam forum Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) menuntut transisi dari penggunaan asbes menuju bahan alternatif yang lebih aman.
Kate Lee dari APHEDA menambahkan, bukti risiko asbes sudah jelas dan tidak terbantahkan. Bahkan, Asian Development Bank (ADB) telah mengumumkan larangan penggunaan material asbes dalam seluruh investasinya mulai Januari 2026.
Koalisi internasional lain, seperti International Ban Asbestos Secretariat (IBAS) Inggris, Asian Ban Asbestos Network (ABAN) Jepang, serta Merseyside Asbestos Victim Support Group Inggris Raya, juga menyatakan dukungan mereka. Mereka menyebut putusan MA RI yang mewajibkan label peringatan pada produk asbes di Indonesia sebagai langkah penting demi kesehatan publik.
Menanggapi dukungan ini, Leo Yoga Pranata dari LPKSM Yasa Nata Budi menyatakan optimistis PN Jakarta Pusat akan menolak gugatan FICMA. “Dukungan global membuktikan bahwa isu asbes bukan hanya soal hukum, tetapi soal kemanusiaan,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Ban Asbestos, Darisman, menegaskan bahwa upaya FICMA merupakan bentuk tekanan yang didukung jaringan pelobi internasional. “Solidaritas kita akan semakin kuat. Dunia sudah melihat bahwa asbes adalah ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat,” tegasnya.