Jakarta, Metapos.id – Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan Presiden Prabowo Subianto pada awal tahun 2025 berdampak negatif terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 hanya sebesar 4,87 persen secara year on year (yoy). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal I 2024 yang masih tumbuh sebesar 5,11 persen. Capaian ini juga menjadi yang terendah sejak kuartal III 2021, ketika pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 3,53 persen.
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menyampaikan bahwa efisiensi anggaran yang awalnya dimaksudkan untuk merapikan belanja negara kini justru mulai menunjukkan efek berantai yang kontraproduktif.
Adapun, pertumbuhan belanja pemerintah yang kontraksi sebesar 1,38 persen secara year on year (yoy) turut melemahkan kinerja ekonomi.
Selain itu, ia menyampaikan bahwa kondisi di lapangan juga menunjukkan bahwa pemotongan belanja publik mengurangi denyut aktivitas ekonomi di banyak sektor, terutama di daerah.
“Ketika anggaran transfer ke daerah turut ditekan, pilihan daerah untuk membiayai infrastruktur dan program sosial menjadi sangat terbatas, padahal selama ini APBD juga menjadi penopang penting penciptaan lapangan kerja dari infrastruktur desa dan perlindungan sosial,” jelasnya dalam keterangannya, Selasa, 6 Mei.
Selain itu, Wahyudi menjelaskan hasil efisiensi itu sebagian besar justru dialihkan ke program MBG yang belum menghasilkan nilai tambah ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
“Sementara itu banyak Balai Latihan Kerja (BLK) yang tidak berjalan karena tidak ada anggaran akibat efisiensi, pendamping desa juga banyak yang dirumahkan, padahal BLK dan pendamping desa adalah penggerak penciptaan lapangan kerja di sektor riil.” tuturnya.
Sementara itu terkait perlambatan ekonomi nasional, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf menyampaikan bahwa DEN saat ini masih mencermati data tersebut secara mendalam dan sejak awal telah mengingatkan potensi penurunan konsumsi pemerintah sebagai dampak dari kebijakan efisiensi yang diberlakukan.
Ia menekankan bahwa hal ini perlu menjadi perhatian serius, mengingat tidak semua pihak di pemerintahan meyakini bahwa daya beli masyarakat sedang melemah seperti penurunan upah riil hingga meningkatnya proporsi pengeluaran konsumsi defensif.
“Ini saya kira harus jadi perhatian karena tidak semua elemen di pemerintah percaya daya beli konsumen melemah. Padahal fakta-fakta sudah disodorkan oleh DEN dari mulai penurunan upah riil juga kenaikan share dari defensive consiumption spending,” jelasnya.
Arief menyampaikan bahwa stimulus yang diusulkan DEN pada akhir tahun lalu tampaknya belum cukup efektif dalam mendorong daya beli masyarakat.
Menurutnya perhatian pemerintah perlu segera diarahkan pada upaya membalikkan tren penurunan konsumsi pemerintah dan mempercepat deregulasi agar investasi dapat segera masuk.
“Tidak menutup kemungkinan kita usulkan stimulus untuk mengangkat konsumsi rumah tangga juga,” jelasnya.