Jakarta, Metapos.id – Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan kembali menjadi sorotan publik. Perkara yang menyeret mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, memunculkan perdebatan tajam terkait ada atau tidaknya unsur niat jahat atau mens rea, seiring proses persidangan yang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Kasus ini berkaitan dengan pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi berupa laptop Chromebook dan Chrome Device Management pada periode 2019–2022. Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka, yakni Nadiem Makarim, mantan Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Sri Wahyuningsih, Ibrahim, Mulyatsyah, serta mantan Staf Khusus Mendikbudristek Jurist Tan. Namun, berkas Jurist Tan belum dilimpahkan ke pengadilan karena yang bersangkutan masih berstatus buron.
Jaksa menilai perencanaan kebutuhan TIK dalam program tersebut tidak didasarkan pada analisis kebutuhan pendidikan dasar dan menengah yang memadai. Kondisi ini disebut berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan perangkat, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar. Berdasarkan perhitungan penuntut umum, pengadaan tersebut diduga menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp2,1 triliun.
Dalam dakwaan, jaksa juga menguraikan adanya dugaan rekayasa dalam proses pengadaan, termasuk penyusunan kajian kebutuhan yang dinilai mengarahkan spesifikasi teknis pada penggunaan Chromebook dan Chrome OS. Nama Nadiem disebut memperoleh keuntungan dalam jumlah besar yang sempat diberitakan mencapai ratusan miliar rupiah, meski klaim tersebut telah dibantah oleh tim penasihat hukumnya.
Di tengah konstruksi dakwaan tersebut, pandangan berbeda disampaikan mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Melalui pernyataan yang disorot akun hukum.perubahan di media sosial, Laksamana menyebut tidak melihat adanya unsur niat jahat dalam kebijakan pengadaan Chromebook. Ia menyinggung fakta bahwa Nadiem disebut mengajak Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara serta Kejaksaan Agung untuk ikut mengawasi jalannya program, yang menurutnya menjadi indikator ketiadaan mens rea.
Laksamana juga mengaitkan kasus ini dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang, menurut narasi tersebut, tidak menemukan adanya kerugian negara. Pernyataan ini berseberangan dengan sikap resmi Kejaksaan Agung yang menegaskan telah terjadi kerugian negara Rp2,1 triliun. Perbedaan pandangan inilah yang kemudian memicu polemik di ruang publik maupun di ruang sidang.
Jaksa Penuntut Umum tetap berpegang pada dakwaan bahwa unsur niat jahat tercermin dari rangkaian tindakan para terdakwa dalam merancang dan melaksanakan pengadaan. Jaksa menilai spesifikasi teknis Chromebook diduga telah dikondisikan dan dibocorkan kepada calon penyedia tertentu, sehingga menguntungkan pihak korporasi dan merugikan keuangan negara.
Sementara itu, pihak Nadiem dan pendukungnya menekankan bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya percepatan digitalisasi pendidikan yang dilandasi itikad baik. Mereka menyatakan tidak ada aliran dana pribadi kepada Nadiem, serta menyebut transaksi bernilai besar yang beredar di pemberitaan sebagai transaksi korporasi, bukan hasil korupsi.
Perbedaan tajam antara dakwaan jaksa, kritik dari tokoh seperti Laksamana Sukardi, dan pembelaan tim hukum Nadiem menjadikan perkara pengadaan Chromebook ini sebagai ujian penting bagi transparansi penegakan hukum, akurasi perhitungan kerugian negara, serta penerapan unsur mens rea dalam kasus korupsi kebijakan di Indonesia.














